top of page
Search

Aku dan Inner Child yang Terluka

  • Writer: irishannastory
    irishannastory
  • Apr 15, 2023
  • 5 min read

Updated: Aug 17, 2023

Sebuah proses memeluk trauma masa kecil


Tidak banyak orang yang menyadari bahwa dirinya memiliki inner child yang terluka. Pengalaman tidak menyenangkan yang dialami seseorang di masa lalunya, kerap kali dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dibesar-besarkan. Tidak adanya validasi atas emosi-emosi negatif yang kita rasakan semasa kecil, membuat kita kesulitan untuk mengendalikannya ketika dewasa. Semakin bertambah usia, kita pun kian mahir memendam luka batin, tanpa tahu cara mengatasinya. Kita terbiasa merasa baik-baik saja, padahal ada sesuatu dalam diri yang harus segera diperbaiki.


ree
Photo by Valeria Boltneva on Pexels

Trauma tidak hanya disebabkan oleh kekerasan. Pengabaian terhadap kebutuhan anak untuk meluapkan emosi negatifnya, juga dapat menimbulkan trauma. Ketika seorang anak sedang mengungkapkan perasaannya dengan cara menangis, orang tua cenderung mengalihkan perhatian sang anak ke hal lain, supaya tangisan itu cepat reda.


Saat terjatuh dan terluka, anak tidak boleh menangis. Anak diajarkan untuk bersembunyi di balik kata "tidak apa-apa". Mereka seolah "dipaksa" untuk menjadi orang yang (selalu) kuat. Bahkan saat merasa marah, kesal, putus asa, frustrasi, anak juga dilarang mengekspresikannya dan malah disuruh diam. Tanpa sadar, orang tua sedang melatih mereka untuk memendam rasa sakit. Perasaan tidak nyaman itu dapat menumpuk selama bertahun-tahun dan dapat meledak kapan saja.


Di luar sana tidak sedikit orang yang terjebak dengan luka masa lalunya. Perlakuan buruk yang kita terima di masa kecil, dapat termanifestasi menjadi kepribadian yang buruk saat dewasa. Luka psikis yang kita miliki juga bisa terjadi karena melihat orang lain –terlebih dia adalah orang yang kita cintai– mengalami kekerasan. Jika bisa memilih, tentu tidak akan ada orang yang mau bertumbuh dengan luka pengasuhan. Sayangnya, kita tidak bisa menentukan terlahir dari keluarga yang seperti apa.


ree
Photo by Luana Freitas on Pexels

Menurutku, memiliki keluarga yang utuh dan harmonis adalah sebuah keberuntungan. Sebenarnya setiap orang berhak mendapatkannya. Namun jika tidak, bukan berarti hidup kita sial. Justru hal itu adalah bentuk keberuntungan lain yang harus disyukuri. Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari pengalaman buruk yang pernah kita alami, untuk meminimalisasi kejadian yang sama terulang kembali.


Jika kita terlahir di keluarga yang kurang "ideal", kita bisa "memperbaikinya" dengan cara menjalin hubungan yang lebih baik dengan pasangan. Kendati tidak akan pernah bisa sempurna. Relasi kita dengan pasangan, sedikit banyak akan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga tempat kita bertumbuh. Bagaimana cara istri memperlakukan suami, bagaimana cara suami dalam melindungi dan mengayomi keluarganya, bagaimana cara keduanya dalam menyelesaikan konflik, tanpa sadar merupakan cerminan dari hubungan orang tua kita.

Kejadian buruk yang terjadi di masa kecilku, mempengaruhi bagaimana caraku bersikap ketika dewasa. Kekerasan yang pernah kualami membentuk beberapa karakter yang kurang menyenangkan. Aku mengalami kesulitan dalam mengontrol emosi. Mood-ku mudah berubah hanya dalam hitungan detik, jika ada suatu hal yang tidak aku suka. Rupanya kemampuan kontrol emosi seorang anak dipengaruhi oleh peran ayah dalam pengasuhan. Memang aku kehilangan sosok itu meski kami tinggal satu atap.


Dulu aku merasa enggan untuk mengemukakan pendapat di depan umum, karena terlalu memikirkan penilaian orang lain terhadapku. Setelah kutelusuri, rupanya akar masalah itu berawal dari saat kecil aku pernah "disalahkan" karena tidak langsung paham saat diajari mengerjakan PR. Memori itu masih terekam jelas dan mewujud menjadi diriku yang takut berbuat salah dan suka menyalahkan diri sendiri.


Terkadang aku juga merasa dadaku dipenuhi oleh kebencian, kemarahan, dan hal-hal negatif lainnya. Menurut John Bowlby, seorang ahli psikologi, psikiatri, dan psikoanalis, ketika anak dipenuhi kemarahan yang sangat intens, seringkali itu akibat dari penolakan dan pengalaman diperlakukan secara kasar oleh orang tuanya. Saat membaca statement ini, aku pun merefleksikan kembali diriku di masa kecil.


Dulu orang tuaku sering berselisih pendapat di depanku, hingga membuatku tidak nyaman berada di rumah. Suasana rumah jauh dari kata hangat. Hampa, dingin, datar. Aku tidak punya tempat bergantung, tidak ada tempat berkeluh kesah, merasa kesepian, suka memendam keresahan sendiri tanpa tahu cara mengungkapkannya. Bahkan saat aku dibully di sekolah, aku diam saja karena takut tambah dibully. Bersyukur sekarang keadaan keluarga kami jauh berbeda. Aku sudah menemukan kenyamanan sebuah rumah yang selama ini kucari.


Beruntung sekarang ini ilmu parenting sudah bertebaran di mana-mana. Harapannya para orang tua masa kini bisa lebih bijak dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau trauma masa kecil itu dapat menjadi trigger munculnya ledakan emosi yang tidak terkendali, ketika kita kewalahan mengurus anak. Memang sulit untuk mengubah hal tersebut, karena pengalaman tidak menyenangkan itu terus melekat dalam diri kita.


Dulu aku adalah orang yang sangat terganggu dengan suara tangisan anak kecil. Rasanya berisik sekali dan membuat dadaku tidak nyaman. Sewaktu sudah memiliki anak, aku berusaha sebaik mungkin untuk berdamai dengan hal itu. Namun, saat kelelahan dan anak menangis terus menerus, rasanya kepala dan dadaku mau pecah, telingaku serasa berdenging, kakiku lemas. Aku sering "berperang" dengan diriku sendiri. Kalau aku tidak bisa mengendalikan pikiran-pikiran buruk yang terlintas di kepala, sesuatu yang tidak diinginkan bisa saja terjadi. Aku merasa bangga dengan diriku saat itu, karena bisa menang melawannya.


Setelah menyelami memori masa kecil dan mempelajari ilmu parenting, aku menyimpulkan bahwa dulu tangisanku kerap diabaikan oleh orang-orang di sekitarku. Saat bayi, aku masih tinggal di rumah kakek nenek, karena waktu itu Bapak kuliah di Jember, jadi Ibu mengurusku sendirian sambil bekerja. Ibu bolak-balik kantor-rumah agar bisa menyusuiku secara langsung. Kalau Ibu bekerja, aku diurus kakek nenekku. Menurut cerita Ibu, dulu aku sering menggigit jempol sampai luka. Hal itu bisa menjadi tanda bahwa aku mencari kenyamanan. Orang tua zaman dulu masih suka membiarkan bayi menangis, dengan dalih supaya jantungnya kuat. Aku pun tidak bisa menyalahkan mereka sepenuhnya karena belum punya ilmu.


Karena saat masih bayi aku tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman yang kubutuhkan, ketika dewasa aku jadi merasa dunia ini penuh ancaman. Aku tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri dan memiliki trust issue. Terkadang aku merasa orang-orang tidak menyukaiku, suka membicarakan keburukanku di belakang, dan pikiran-pikiran negatif lain. Aku merasa tidak diterima di lingkungan. Padahal belum tentu mereka seperti itu.


Dulu aku sangat tertutup dan dinilai terlalu serius dalam menanggapi suatu hal. Bahkan aku tidak mau berkumpul dengan para saudara dari pihak Bapak karena merasa tidak percaya diri. Aku merasa tidak cantik, tidak menarik, tidak enak diajak mengobrol, dan aku takut dengan penilaian mereka. Apalagi jika berurusan dengan lawan jenis, aku tambah tidak percaya diri. Aku tipe orang yang canggung saat mengobrol laki-laki. Siapa pun itu. Jadi, kebanyakan temanku perempuan.


Saat SMP, aku dipertemukan dengan teman-teman yang bisa mengubahku menjadi orang yang lebih ceria dan lebih hidup. Itulah titik balikku menjadi pribadi yang lebih terbuka dan bisa diajak bercanda. Namun, aku tidak bisa nyaman berbicara dengan semua orang. Biasanya ada "sinyal" tertentu dari dalam diriku yang memberitahu siapa orang yang bisa "klik" dan siapa yang tidak.


Kini, kepribadianku telah jauh berbeda. Orang yang mengenalku 10-15 tahun belakangan, mungkin tidak akan percaya bahwa dulu aku orang yang tidak percaya diri. Aku memang masih tidak bisa mengobrol dengan semua orang. Namun setidaknya, sekarang aku menjadi sangat percaya diri jika berbicara di depan umum, aku suka menjadi pusat perhatian, sudah lebih enjoy ketika mengobrol dan bercanda dengan lawan jenis, tidak canggung lagi dalam memulai obrolan dengan orang lain.


Childhood trauma menjadi lingkaran setan yang harus segera diputus. Meski begitu, kita tidak bisa menjadi orang sempurna yang sama sekali tidak berbuat kesalahan. Tentu akan jauh lebih sulit bagi orang yang memiliki trauma masa lalu, untuk berdamai dengan roller coaster kehidupan setelah berumah tangga dan memiliki anak. Termasuk aku. Buatku proses adaptasinya sangat menantang. Bahkan beberapa kali, aku sampai kehilangan kendali.

 
 
 

Comments


pexels-polina-kovaleva-5430784_edited.jp

Hi, thanks for stopping by!

Let the posts
come to you.

Thanks for submitting!

    Let me know what's on your mind

    Thanks for submitting!

    © 2023 by irishanna

    bottom of page